

Malioboro, mendengar kata itu tentu saja siapa pun sudah langsung terbayang sebuah jalan di kota Jogjakarta dengan suasana hiruk pikuk yang ramai orang-orang berjualan di sana. Kawasan yang terletak di sebelah utara Keraton Yogyakarta ini memang sudah sangat ikonik. Bahkan tempat ini sering disebut sebagai pusat perbelanjaan terpanjang di kawasan Asia. Sebuah predikat yang rasanya memang tak berlebihan ketika kita sekedar mampir ke kawasan ini untuk berwisata dan tenggelam bersama suasana Yogya yang akan selalu “ngangenin”.
Malioboro memang identik dengan kegiatan jual beli yang ada di sana. Dari toko-toko hingga pedagang emperan, mulai dari pernik-pernik suvenir, jajanan tradisional di Pasar Bringharjo hingga kebutuhan perlengkapan elektronik di dalam mall semuanya ada di Malioboro. Tentu saja ini menjadi sebuah keunikan tersendiri dari Malioboro. Bila sedikit menyinggung soal sejarah Malioboro, jalan ini memang dahulu dibuat sebagai sumbu imajiner antara Gunung Merapi – Keraton Yogyakarta dan Pantai Selatan (Pantai Parangkusumo). Malioboro dalam bahasa Sansekerta berarti Karangan Bunga. Ada pula yang menyebut asal muasal penyebutan Malioboro karena jalan ini dulu pernah ditempati oleh kolonial Inggris bernama Malrborough pada tahun 1811 – 1816.
Malioboro mulai berkembang menjadi sebuah pusat perdagangan semenjak perdagangan antara orang Belanda dengan pedagang Tionghoa terjadi di sana. Tentunya dari sejarah tersebut, Malioboro menjadi seperti jalan dengan banyak sekali aktivitas jual beli seperti sekarang ini. Dalam perkembangannya, Malioboro mengalami banyak perubahan. Sekarang jalan ini dikenal sebagai kawasan “pedestrian” atau pejalan kaki, dimana tujuannya adalah membuat orang-orang semakin nyaman dalam menikmati kawasan ini tanpa harus berkutat dengan hiruk pikuk kendaraan-kendaraan lain.
Istilah kawasan pedestrian tersebut menjadi semakin melekat, setidaknya dimulai sejak akhir tahun 2016. Mulanya trotoar-trotoar di Malioboro sering dipadati oleh kendaraan-kendaraan roda dua yang parkir di sana. Di tahun 2016 ke belakang, Malioboro mungkin juga terkesan acak-acakan dengan begitu padatnya kendaraan roda dua yang parkir di trotoar jalan ini. Perombakan pun dilakukan, penertiban diberlakukan di sana sini termasuk dengan dibukanya area parkir terpadu di kawasan parkir Abu Bakar. Usaha dari pemerintah pun tidak sia-sia, Malioboro menjadi tertata lebih rapi dan indah untuk dipandang dengan deretan-deretan kursi di trotoar yang ukurannya menjadi lebih lengang dan lebar. Tak hanya itu, kios-kios yang mulanya terkesan “semrawut” menjadi lebih tertata.
Usaha-usaha tersebut tentunya tidak lepas dari ambisi untuk membuat kawasan Malioboro menjadi lebih benar-benar unggul dan menarik. Nantinya, kawasan ini akan menjadi pusat kegiatan jual beli yang lebih lengkap dan tertata. Kenyamanan adalah sebuah citra dan ciri khas yang akan selalu dibawa pulang sebagai kesan bagi siapa saja yang nantinya berkunjung di sini. Wajah baru Malioboro yang semakin indah dan apik untuk didatangi ini tentu saja membuat siapa saja ingin kembali lagi beraktivitas di sini.
Lengkapnya berbagai macam pilihan produk dan jasa yang ada di kawasan Malioboro inilah yang menjadi salah satu ciri khas tersendiri. Orang-orang akan lebih banyak menghemat waktunya untuk mendapatkan suvenir, barang baru hingga layanan jasa tertentu di Malioboro. Pilihannya pun sangat variatif. Tidak hanya sekedar produk yang sifatnya tradisional, namun juga produk yang sifatnya sudah modern. Malioboro sebagai salah satu ikon dari Kota Yogyakarta merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Produk-produk yang ada di sana memiliki sebuah “nilai” yang bisa dibilang merepresentasikan keistimewaan dari Yogyakarta. Tak heran, rasanya akan sayang sekali bila seumur hidup belum pernah mencoba membeli barang dari Malioboro.